Era Perkembangan Kerajaan (1453-1683)
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa:
Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai
tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik Kesultanan Utsmaniyah
1299–1683 :
1. Perluasan wilayah dan puncak kekuasaan
Pertempuran Zonchio pada tahun 1499 adalah
perang laut pertama yang menggunakan meriam sebagai senjata di kapal
perang, menandakan kebangkitan angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah.
Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453
mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa
Tenggara dan Mediterania Timur.
Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
pertempuran laut di Zonchio antara Angkatan Laut kesultanan Ottoman melawan Pasukan Venesia
Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di
bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis
memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti
Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga
memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan
kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Sultan Selim I yang bergelar Yavuz (perkasa)
berkuasa dari tahun 1512 hingga 1520. Meninggal karena sakit namun
diduga telah diracun oleh tabibnya sendiri.
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung
(1520-1566) melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd
tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah
di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529,
namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih
awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan
Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535,
mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Sultan Sulaiman yang agung. Dijuluki oleh
orang eropa sebagai Suleyman the Magnificent. Di Negerinya ia diberi
gelar Sulaiman al Qanuni atau pembuat hukum karena upayanya membakukan
hukum Islam kedalam suatu Undang-undang.
Lukisan tentang pengepungan pasukan
Ottoman di kota wina tahun 1529 dibawah pimpinan langsung sultan
Sulaiman. Namun Operasi ini gagal dengan kalahnya pasukan Utsmani
menghadapi pasukan koalisi eropa.
Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman,
angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol
sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya
meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat
Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu
inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi
tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Prancis sebagai
pasukan gabungan dengan Raja Prancis Francis I dan Barbarossa. Prancis
dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas
kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat
pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga
terjadi antar Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan
Prancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai
pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari
politik Eropa, dan bersekutu dengan Prancis, Inggris, dan Belanda
melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
2. Kebangkitan eropa melawan Utsmani
Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa
wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan
kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur
alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah.
Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga
menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun
begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai
kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha
ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah. Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah. Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Pertempuran
lepanto dimana pasukan angkatan Laut Utsmani mengalami kekalahan dan
armada lautnya hancur melawan koalisi negara eropa yang tergabung dalam
holy league. Meskipun demikian Wazir agung Ottoman (Mehmet Sokullu
Pasha) dengan sesumbar masih dapat mengatakan “You come to see how
we bear our misfortune. But I would have you know the difference between
your loss and ours. In wresting Cyprus from you, we deprived you of an
arm; in defeating our fleet, you have only shaved our beard. An arm when
cut off cannot grow again; but a shorn beard will grow all the better
for the razor“
Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah
secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa
dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer
kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang.
Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya
ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi
permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan
peningkatan jumlah Yenisaris yang melebihi pasukan militer lainnya.
Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad
tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang
menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan.
Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke
medan perang.
pengepungan kota wina untuk kedua kalinya
oleh Ottoman pada tahun 1683 dibawah pimpinan wazir agung Kara Mustafa
namun Ottoman lagi-lagi menghadapi kekalahan melawan pasukan gabungan
Polandia Austria dan Jerman selama pengepungan 2 bulan.
Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan
Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan
pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan
berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan
hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di
mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap
tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah periode di mana pengaruh politik
dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda
mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang
mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh
perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan
bijaksana. Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan
menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan
terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh
Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali
dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh
beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).
Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama
politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di
wilayahnya; mengatur mu’amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum,
menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin
pelaksanaan syi’ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara
Islam. Arti kedua adalah politik luar negeri :
1. Politik dalam negeri
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
Pertama, buruknya pemahaman Islam dan kedua, salah menerapkan Islam. Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab. Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617),
Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed
(1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II
(1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I
(1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul
Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang
dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan
1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat
dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat.
Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang
dipimpin Fakhruddin bin al-Ma’ni. Ini yang membuat politik luar negeri
khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari
membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara
pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan
korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi
penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari
Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur
utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang
khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang,
tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat. Paruh kedua abad
ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri
Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang
khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan
khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata
uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman
memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara
harus menanggung utang 300 juta lira.
2. Politik Luar negeri
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri
yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari. Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
tambahan : konspirasi menghancurkan Khalifah
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
tambahan : konspirasi menghancurkan Khalifah
1. Gerakan Missionaris
Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773.Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.
Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya – meminjam istilah Imam al-Ghozali – Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit (sickman). Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz.
2. Gerakan Nasionalisme dan Separatisme
Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.
KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul ‘Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum harfiah dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.
Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari’at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan.Kekaisaran Utsmani terlibat perang dunia I melawan inggris, perancis dan russia. Meskipun Utsmani telah bersekutu dengan jerman namun tidak dapat memenangkan perang karena militer utsmani saat itu sudah lemah dan adanya pemberontakan arab yang mernyusahkan gerak laju dan konsentrasi tentara Utsmani.
Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniah
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha
menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai
Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak
pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan
kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam
negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum
nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk
Dewan Perwakilan Nasional – dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya –
sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan
pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya
tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah.
Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Sultan Mehmed VI dijemput secara paksa dan
akhirnya diasingkan ke Cyprus sebagai sultan yang terakhir berkuasa
atas kekhalifahan Utsmani
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan
kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang
dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November
1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun
ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi.
Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta
berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah
Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik
dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah
pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem
pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus
dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
Mustafa Kemal Atatturk sebagai sosok yang
kontroversial. Dipihak pengagum sekulerisme, ia amat dipuja-puja sebagai
pembebas turki. Namun ia juga dipandang sebagai penghancur kekhalifahan
Utsmaniyah
Sumber : http://pasukanottoman.wordpress.com
No comments:
Post a Comment