SYI'AH
Sy'iah menurut bahasa berarti
pengikut dan penolong, dan diucapkan untuk sekelompok manusia yang
bersatu/berkumpul dalam satu masalah, dan kepada setiap orang yang menolong
seseorang dan berhimpun membentuk suatu kelompok padanya. Kemudian kata ini
dipergunakan untuk kelompok yang menolong dan membantu khalifah 'Ali dan
keluarganya, lalu menjadi nama khusus bagi kelompok ini. Sedangkan dalam
istilah Syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak pemerintahan
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang dikomandoi oleh
Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi dari Yaman.
Menurut Asy-Syihristaniy Syi'ah
adalah kelompok yang mengikuti Khalifah 'Ali dan menyatakan kepemimpinannya
baik secara nash ataupun wasiat yang adakalanya secara jelas ataupun samar, dan
mereka berkeyakinan bahwa kepemimpinan (Imamah) tidak keluar dari anak-anaknya,
dan jika keluar darinya maka itu terjadi secara zalim atau sebab taqiyah
darinya.
Setelah terbunuhnya Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu, lalu Abdullah bin Saba’ mengintrodusir ajarannya
secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamirkan bahwa
kepemimpinan (baca: imamah) sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena
suatu nash (teks) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, menurut Abdullah
bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman telah mengambil alih kedudukan
tersebut.
Keyakinan itu berkembang sampai
kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka
diambil tindakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yaitu
mereka dibakar, lalu sebagian mereka melarikan diri ke Madain.
Aliran Syi’ah pada abad pertama
hijriyah belum merupakan aliran yang solid sebagai trend yang mempunyai
berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke-2 Hijriyah dan
abad-abad berikutnya.
Para sejarawan berbeda pendapat akan
awal munculnya Syi'ah, diantaranya :
- muncul sejak jaman Nabi Muhammad SAW (pendapat ulama Syi'ah)
- muncul bersamaan setelah wafatnya Rasulullah (Ahmad Amin)
- muncul pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan (Muhammad
Abu Zahrah)
- muncul setelah terbunuhnya Utsman pada tahun 36 H (pendapat
Orientalis Yulius W)
- muncul setelah terbunuhnya Al-Husein (Dr. Samiy An-Nasysyar)
- muncul di akhir abad pertama hijriyyah ( Dr. 'Irfan Abdul
Humaid
Menurut sebagian ahli sejarah
madzhab ini disebarkan pertama kali oleh Abdullah bin Saba yaitu seorang Yahudi
yang pura-pura masuk Islam, dan hampir dibunuh oleh Ali.
Dr. Fuad Mohammad Fachruddin membagi
Syi'ah menjadi 4 macam aliran :
-
Ekstrimis (al-Ghulatiyyah), sekarang
sudah tidak ada lagi.
-
Isma’iliyah dan cabang-cabangnya,
Tersebar di India, Pakistan, Afrika Utara , Eropa dan Amerika.
-
Zaidiyyah, Tersebar di Yaman dan
sekitarnya.
-
12 Imam (Itsna 'Asyariyyah/Imamiyyah),
Syi'ah yang paling banyak mempunyai pengikut di dunia
tersebar di Iran, Irak, Lebanon, India, Pakistan dan bahkan di Arab Saudi serta
negara-negara Teluk. Diperkirakan pengikutnya sekitar 120 juta orang.
Pendapat-pendapat mereka :
-
Mengkafirkan sahabat Nabi yang tidak
mendukung Ali (kecuali Syiah Zaidiyah sekarang-pen)
-
Kepemimpinan (Imamah) merupakan satu
dari beberapa pokok keimanan.
-
Memandang Imam Itu ma'shum (orang
suci)
-
Wajib adanya Imam yang tersembunyi
(Al-Imam Al- Mastur)
-
Al-Quran yang sekarang mengalami
perubahan dan pengurangan, sedangkan yang asli berada di tangan Al-Imam
Al-Mastur (Syi'ah Imamiyah)
-
Tidak mengamalkan hadits kecuali
dari jalur keluarga Nabi Muhammad (Ahli Bait), (kecuali madzhab Zaidiyyah-pen)
-
Memperbolehkan taqiyah
-
Tidak menerima ijma dan qiyas
(kecuali madzhab Zaidiyyah-pen)
-
Wajib sujud di atas tanah atau batu
(Syi'ah Imamiyah)
-
Memperbolehkan nikah mut'ah (Syi'ah
Imamiyah)
-
Tidak melakukan shalat Jumat karena
Imam yang asli tidak ada (Syi'ah Imamiyah)
Pokok-Pokok Penyimpangan Syi’ah pada
Periode Pertama :
- Keyakinan bahwa imam sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
- Keyakinan bahwa imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
- Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari Kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dan lain-lain.
- Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
- Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena keyakinan tersebut.
- Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
- Keyakinan mencaci maki para Sahabat atau sebagian Sahabat seperti Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.(lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql hal. 237).
- Pada abad ke-2 Hijriyah, perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaini dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
1. Pada Rukun Iman :
Syi’ah hanya memiliki 5 rukun iman,
tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Kitab Allah, Rasul dan Qadha dan
Qadar, yaitu:
1. Tauhid (keesaan Allah),
2. Al-’Adl (keadilan Allah)
3. Nubuwwah (kenabian),
4. Imamah (kepemimpinan Imam),
5. Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan).
(Lihat ‘Aqa’idul Imamiyah oleh
Muhammad Ridha Mudhoffar dll).
2. Pada Rukum Islam :
Syi’ah tidak mencantumkan
Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu :
1.Shalat,
2.Zakat,
3.Puasa,
4.Haji,
5.Wilayah (perwalian) (lihat Al-Kafie juz
II hal 18)
3. Syi’ah meyakini bahwa Al-Qur’an
sekarang ini telah dirubah,
ditambahi atau dikurangi dari yang
seharusnya, seperti :
وَ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا
نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فِي عَلِيٍّ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ (الكافي ج 1 ص 417.)
“wa inkuntum fii roibim mimma
nazzalna ‘ala ‘abdina FII ‘ALIYYIN fa`tu bi shuratim mim mits lih ” (Al-Kafie, Kitabul Hujjah: I/417)
Ada tambahan “fii ‘Aliyyin” dari
teks asli Al-Qur’an yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا
نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا
شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ [البقرة/23]
“wa inkuntum fii roibim mimma
nazzalna ‘ala ‘abdina fa`tu bi shuratim mim mits lih” (Al-Baqarah:23)
Karena itu mereka meyakini bahwa :
Abu Abdillah a.s (imam Syi’ah) berkata: “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril a.s.
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 17.000 ayat (Al-Kafi
fil Ushul Juz II hal.634). Al-Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat
itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi’ah Al-Kafi fil Ushul juz
I hal 240-241 dan Fashlul Khithab karangan An-Nuri
Ath-Thibrisy).
4. Syi’ah meyakini bahwa para
Sahabat sepeninggal Nabi SAW
mereka murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti: Al-Miqdad
bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisy (Ar Raudhah minal Kafi
juz VIII hal.245, Al-Ushul minal Kafi juz II hal 244).
5. Syi’ah menggunakan senjata
“taqiyyah” yaitu berbohong,
dengan cara menampakkan sesuatu yang
berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabui (Al Kafi fil Ushul Juz
II hal.217).
6. Syi’ah percaya kepada Ar-Raj’ah
yaitu kembalinya roh-roh
Kembali pada jasadnya masing-masing
di dunia ini sebelum Qiamat dikala imam Ghaib mereka keluar dari
persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam
kepada lawan-lawannya.
7. Syi’ah percaya kepada
Al-Bada’, yakni tampak bagi Allah
dalam hal keimaman Ismail (yang
telah dinobatkan keimamannya oleh ayahnya, Ja’far As-Shadiq, tetapi kemudian
meninggal disaat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi
mereka, Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum (terjaga).
8. Syi’ah membolehkan “nikah
mut’ah”, yaitu nikah kontrak
dengan jangka waktu tertentu (lihat
Tafsir Minhajus Shadiqin Juz II hal.493). Padahal hal itu
telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri.
MURJI'AH
Asal-usul
dan sejarah munculnya
Murji'ah berasal dari kata Irja yang
berarti menangguhkan. Memberi
harapan dalam artian member harapan kepada para pelaku dosa besar untuk
memperoleh pengampunan Allah Swt. Selain itu, irja’a juga bisa memiliki arti
meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal
dan iman. Oleh karena itu, Murjiah berarti orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada
beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran Murjiah. Teori pertama
mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat
dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadinya
pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme.
Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan dengan munculnya Khawarij.
Kaum Murjiah yang muncul pada abad I
Hijriyyah merupakan reaksi akibat adanya pendapat Syiah yang mengkafirkan
sahabat yang menurut mereka merampas kekhalifahan dari Ali, dan pendapat
Khawarij yang mengkafirkan kelompok Ali dan Muawiyah. Pada saat itulah
muncullah sekelompok umat Islam yang menjauhkan dari pertikaian, dan tidak mau
ikut mengkafirkan atau menghukum salah dan menangguhkan persoalannya sampai
dihadapan Allah SWT. Pada asalnya kelompok tidak membentuk suatu madzhab, dan
hanya membenci soal-soal politik, tetapi kemudian terbentuklah suatu madzhab
dalam ushuluddin yang membicarakan tentang Iman, tauhid dan lain-alin. Pemimpin
dari kaum Murjiah adalah Hasan bin Bilal (152 H).
Teori
lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murjiah,
muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali
bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.
Menurut
Watt, 20 tahun setelah kematian Muawiyah, dunia Islam dikoyak oleh pertikayan
sipil. Al-Mukhtar membawa paham Syiah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibn Zubair
mengklaim kekhalifahan di mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam.
Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan
(postponenment). Gagasan ini pertama kali digunakan tahun 695 olleh cucu Ali
bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat
pendeknya. Dalam surat ini Al Hasan menunjukan sikap politiknya dengan
mengatakan, “ Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan
atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil yang pertama yang melibatkan
Utsman, Ali, dan Zubair. ” Dengan sikap politik ini, Al-Hasan mencoba untuk
menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia pun mengelak berdampingan dengan
kelompok Syiah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta
menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengaki kekhalifahan Muawiyah dengan
alasan bahwa dia adalah keturunan si pendosa Utsman.
Teori
lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah, dilakukan
Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah. Kelompok Ali terpecah
menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar
dari Ali, yaitu kelompok Khawarij, yang memandang bahwa keputusan takhim
bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena itu, pelakunya melakukan dosa besar
dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditolak oleh sebagian sahabat
yang kemudian disebut Murjiah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar
tetaplah mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah
dia akan mengampuninya atau tidak.
Doktrin-doktrin
Murjiah
Kaum Murji'ah dapat dibagi menjadi 2
yaitu :
a. Golongan moderat
Pendapat-pendapat mereka :
-
Orang berdosa bukan kafir dan tidak
kekal dalam neraka
b. Golongan Ekstrim
Pendapat-pendapat mereka :
-
Orang Islam yang percaya pada Allah
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidak menjadi kafir karena iman itu
letaknya di dalam hati, bahkan meskipun melakukan ritual agama-agama lain.
-
Yang dimaksud ibadah adalah iman,
sedangkan shalat, puasa, zakat dan haji hanya menggambarkan kepatuhan saja
-
Maksiat atau pekerjaan-pekerjaan
jahat tidak merusak iman ( Al-Yunusiah)
-
Menangguhkan hukuman orang yang
berdosa di akhirat
Menurut
W. M. Watt, doktrin-doktin Murjiah secara umum sebagai berikut:
-
Penangguhan keputusan terhadap Ali
dan Muawiyah hingga Allah yang memutuskannya di hari kiamat kelak.
-
Penangguhan Ali untuk menduduki
rangking keempat dalam peringkat al-Khalifah ar-Rasyidun.
Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah Swt.
Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah Swt.
-
Doktrin-doktrin Murjiah menyerupai
pengajaran (mazdhab) para skeptik dan empiris dari kalangan Helenis.
-
Sementara Abu A’la al Maududi
menyebutkan dua ajaran paling pokok Murjiah, yaitu :
-
Iman adalah percaya kepada Allah dan
Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi
adanya iman. Seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan
yang diwajibkan dan melakukan dosa besar.
Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atas seseorang. Untuk mendapat ampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atas seseorang. Untuk mendapat ampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Perkembangan
Murjiah
Dalam
perkembagannya, golongan Murjiah terpecah dalam beberapa sekte. Perpecahan ini
dipicu akibat terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat dalam golongan Murjiah
itu sendiri. Menurut Asy-Syahrastani, kelompok Murjiah terbagi dalam empat
kelompok besar. Yakni Murjiah al-Khawarij, Murjiah al-Qadariyah, Murjiah Jabbariyah,
dan Murjiah Murni.
JABARIYAH
Kata
Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan
melakukan sesuatu. Asy-Syahrastani mengartikan Jabariah sebagai menolak adanya
perbuatan dan menyadarkan semua perbuatan kepada Allah Swt. Berdasarkan hal
ini, Asy-Syahrastani membagi Jabariah dalam dua bentuk, yaitu :
Jabariah
Murni, yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang manusia
tidak memiliki kemampuan untuk berbuat, Jabariah Pertengahan (Moderat), yang
mengakui adanya perbuatan manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi.
Namun, orang yang mengakui adanya perbuatan makhluk yang mereka namakan “kasb”
bukan termasuk Jabariyah.
Paham
al-Jabr pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian
disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam perkembangannya paham
ini juga dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya al-Husain bin Muhammad
an-Najjar dan Ja’ad bin Dirrar. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kemunculan
paham Jabariyah terpengaruh dari paham ajaran Yahudi dan Nasrani. Yaitu Yahudi
sekte Qurro dan agama Nasrani yang bersekte Ya’cubiyah.
Mengenai paham Jabariyah ini, para ahli sejarah teologi Islam ada yang berpendapat bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikelilingi gurun sahara telah mempengaruhi cara hidup mereka. Kebergantungan mereka terhadap gurun sahara yang panas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Mengenai paham Jabariyah ini, para ahli sejarah teologi Islam ada yang berpendapat bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikelilingi gurun sahara telah mempengaruhi cara hidup mereka. Kebergantungan mereka terhadap gurun sahara yang panas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Selain
itu, menurut Abdul Rozak, pemikiran-pemikiran Jabariah telah ada sejak awal
periode Islam. Hal itu terlihat dari beberapa peristiwa yang terjadi baik pada
masa Nabi maupun sesudahnya, seperti pada masa Umar bin Khatab, yaitu ketika
terjadinya pencurian dimana pencuri berargumen bahwa ia telah ditakdirkan untuk
mencuri, yang akhirnya pencuri tersebut mendapat hukuman potong tangan dan dera
karena telah menggunakan dalil Tuhan.
Doktrin-doktrin
Jabariyah.
Doktrin-doktrin
Jabariyah secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu :
Fatalisme,
yakni kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa,
tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah Swt. Surga dan Neraka tidak
kekal, tidak ada yang kekal selain Allah Swt. Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapat ini sama dengan konsep iman yang
di ajarkan Murji’ah. Kalam Tuhan adalah Makhluk.Tuhan tidak dapat dilihat di
akhirat.
Pendapat-pendapat mereka :
-
manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya tetapi dipaksa oleh Allah
-
Iman cukup dalam hati saja walau tidak
diikrarkan dengan lisan
Perkembangan
Jabariyah .
Dalam perkembangannya Jabariyah terbagi
antara Jabariyah Murni dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Murni terbagi dalam
beberapa golongan, yaitu al-Jahmiyah, an-Najjariyah, dan ad-Dhirariyah.
Aliran ini ditonjolkan pertama kali Jahm bin Safwan
(131 H), sekretaris Harits bin Suraih yang memberontak pada Bani Umayyah di
Khurasan. Meskipun demikian sebelumnya sudah ada dalam umat Islam yang
membicarakan tentang hal ini seperti surat sahabat Ibnu Abbas dan seorang
tabi-in al-Hasan al- Bashriy kepada penganut paham ini.
QODARIYAH
Asal
Muasal paham Qodariyah
Qodariyah
berasal dari bahasa Arab, yaitu Qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Menurut terminology, Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Jadi, tiap-tiap orang adalah
pencipta dari perbuatannya. Para pakar sejarah teologi Islam tidak mengetahui
secara pasti kapan paham ini timbul, tetapi menurut keterangan ahli lainnya,
paham Qodariyah diperkirakan timbul pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad
al-Juhani, menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya, Ghailan
al-Dimasyiqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak.
Dan Menurut Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik dan ia pun menentang
kekuasaan Bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjad tahun 80 H, dia mati
terbunuh.
Doktrin-doktrin
Qodariyah
Secara
garis besar, doktrin-doktrin Qodariah pada dasarnya berkisar tentang takdir
Tuhan, yaitu : Manusia berkuasa atas segala perbuatannya;.Takdir adalah
ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta beserta
seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut
Sunatullah. Manusia sendirilah yang melakukan pebuatannya
sendiri dan Tuhan tidak ada hubungan sama sekali dengan perbuatannya itu.
Perkembangan
Qodariyah
Dalam
perkembangannya, paham qodariyah seringkali disebut dengan paham Mu’tazilah
seperti yang dijelaskan Asy-Syahrastani yang menyatukan pembahasan Mu’tazilah
dengan pembahasan Qodariyah. Hal ini disebabkan karena paham qodar dijelaskan
lebih luas pada aliran Mu’tazilah.
MU'TAZILAH
Mu'tazilah berasal dari kata
I'tazala yang berarti menjauhkan diri.
Asal mula kata ini adalah suatu saat
ketika al-Hasan al- Bahsriy (110 H) sedang mengajar di masjid Basrah datanglah
seorang laki-laki bertanya tentang orang yang berdosa besar. Maka ketika ia
sedang berpikir menjawablah salah satu muridnya Wasil bin Atha' (131H) menjawab
: "Saya berpendapat bahwa ia bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi
mengambil posisi diantara keduanya". Kemudian ia menjauhkan diri dari
majlis al-Hasan dan pergi ketempat lain dan mengulangi pendapatnya. Maka
al-Hasan menyatakan : Washil menjauhkan diri dari kita (I'tazal 'anna).
Secara
teknis, Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan, yaitu :
Golongan
pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak dalam menyikapi
pertentangan antara Ali dan lawan-lawannya. Menurut Abdul Rozak, golongan
inilah yang pertama-tama disebut Mu’tazilah karena mereka menjaukan diri dari
pertikaian masalah Imamah.
Golongan
kedua, muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat
dosa besar. Mu’tazilah inilah yang akan dibahas kemudian.
Beberapa
versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada
peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan
Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang diberikan oleh Hasan
al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “ Saya berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada dalam posisi
diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan
diri dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di lingkungan masjid. Disana
Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya. Dengan peristiwa ini,
Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna).
Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang menjauhkan diri inilah yang kemudian
disebut sebagai Mu’tazilah.
Versi
lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah
pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr bin Ubaid
yang disangkanya majelis Hasan al-Basri. Setelah ia tahu bahwa itu bukanlah
majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata,
“ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itu, mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Al-Mas’udi
memberikan keterangan lain lagi, mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir,
tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-mazilah bain
al-manzilatain).
Menurut
Ahmad Amin, nama Mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa antara Washil dan Hasan
al-Basri. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan yang tidak mau
berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada masa Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib, Qais yang waktu itu sebagai gubernur di mesir pada masa
Ali, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan turut padanya, dan golongan
lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya
kepada Khalifah, ia menamai golongan yang menjauhkan diri dengan nama
Mu’tazilah.
Golongan
Mu’tazilah juga dikenal dengan nama lain seperti Ahl al-Adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl[37]
yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.
Mereka juga sering disamakan dengan paham Qadariyah yang menganut paham free
act dan free will. Selain itu mereka juga dinamai al-Mua’tillah karena golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang
memiliki wujud diluar zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wa’diyyah,
karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa
orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
Ajaran-ajaran
Mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni
khalifah Yazib bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu :
Al-Makmun (198-218H), Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan Al-Watsiq ( 227-232H).
Ajaran
Dasar Teologi Mu’tazilah.
Ajaran-ajaran
dasar Mu’tazilah ini juga disebut dengan al-Ushul al-Khamsah.Yaitu :
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, semua aliran teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, Tauhid dalam paham Mu’tazilah memiliki arti spesifik. Yaitu : Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Karena itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat yang tak berpemulaan).
Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, semua aliran teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, Tauhid dalam paham Mu’tazilah memiliki arti spesifik. Yaitu : Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Karena itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat yang tak berpemulaan).
Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.
Ajaran
tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan
Manusia
Menurut
Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Konsep ini
memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan
diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik
dan terbaik (as-shalah wa al-ashlah)
Maksudnya
adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik untuk manusia. Tuhan
tidak mungkin jahat dan penganiaya, karena hal tersebt tidak layak bagi Tuhan.
Jika Tuhan berlaku jahat terhadap seseorang dan berlaku jahat kepada orang lain
berarti Ia tidak adil. Maka Tuhan pastilah berbuat yang terbaik bagi manusia.
c. Mengutus
Rasul
Mengutus
rasul bagi manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan dengan alasan sebagai berikut
:
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia. Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS 26:29). Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia. Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS 26:29). Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.
Al-Wa’ad wa
al-Waid
berarti janji ada ancaman, Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana, tidak akan
melanggar janji-Nya. Yaitu untuk member pahala surge bagi yang berbuat baik dan
mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan
untuk member ampunan orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Menurut
pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai orang
mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada
Tuahan, dan tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Pelaku dosa besar juga
tidak bias dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan,
Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik.
Al-Amru bi
al-Ma’ruf wa an-Nahyi an-Munkar berarti menyuruh kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Dalam paham Mu’tazilah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
seorang mukmin untuk melakukan hal ini. Yaitu : Ia mengetahui perbuatan yang
disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar. Ia mengetahui
bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan oleh orang. Ia mengetahui bahwa
perbuatan amr ma’ruf atau nahy munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih
besar. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya.
Pendapat-pendapat utama mereka :
-
Orang Islam yang berdosa besar bukan
kafir dan bukan mukmin tetapi berada di antara keduanya (al-Manzilah bainal
manzilatain)
-
Tuhan bersifat bijaksana dan adil,
tidak dapat berbuat jahat dan zalim. Manusia sendirilah yang memiliki kekuatan
untuk mewujudkan perbuatannya perbuatannya, yang baik dan jahat, iman dan
kufurnya, ta'at dan tidaknya.
-
Meniadakan sifat-sifat Tuhan,
artinya sifat Tuhan tidak mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan
-
Baik dan buruk dapat ditentukan
dengan akal
-
Al-Quran bukan qadim (kekal) tetapi
hadits (baru/diciptakan)
-
Tuhan tidak dapat dilihat dengan
mata kepala di akhirat nanti
-
Hanya mengakui Isra Rasulullah ke
Baitul Maqdis tetapi tidak mengakui Mi'rajnya ke langit
-
Tidak mempercayai wujud Arsy dan
Kursi Allah, Malaikat pencatat amal (Kiraman Katibiin), Adzab (siksa) kubur.
-
Tidak mempercayai adanya Mizan
(timbangan amal), Hisab (perhitungan amal), Shiratul Mustaqiim (Titian), Haud
(kolam nabi) dan Syafa'at nabi di hari Kiamat.
-
Siksaan di neraka dan kenikmatan di
surga tidak kekal (ikut sebagian kelompok)
AHLUS
SUNNAH WAL JAMA'AH (SUNNI).
Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah
wal Jama'ah karena pandapat mereka berpijak pada pendapat-pendapat para sahabat
yang mereka terima dari Rasulullah. Kelompok ini disebut juga kelompok ahli
hadits dan ahli fiqih karena merekalah pendukung-pendukung dari aliran ini.. Ungkapan Ahl
Sunnah wal Jamaah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua
pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan
dari Syiah. Dalam artian ini, Mu’tazilah dan As’ariyah masuk dalam golongan
Sunni. Dalam pengertian khusus, Sunni adalah mazhab dalam barisan As’ariyah dan
merupakan lawan dari Mu’tazilah. Selanjutnya, trem Ahlussunah banyak dipakai
setelah munculnya aliran As’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang
ajaran Mu’tazilah.
a.
Ajaran Asy’ariah
Ajaran
Asy’ariah muncul atas keberanian Abu Hasan Al-Asy’ary yang menenteng paham
Mu’tazilah. Abu hasan Al-Asy’asy adalah seorang pengikut M’tazilah sampai ia
berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba dia mengumumkan diri dihadapan
jama’ah masjid Basrah bahwa dia keluar dari golongan Mu’tazilah dan menunjukan
keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi al-Asy’ary
meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ary yang telah bermimpi
bertemu Rasulullah Saw sebanyak tiga kali pada bulan Ramadhan.[5] Namun menurut
pendapat yang lain, al-Asy’ary keluar dari Mu’tazilah karena adanya keraguan
ketika dia mempertanyakan hal tentang mukmin dewasa, anak-anak, dan kaum kafir
kepada al-Jubba’i.
Ajaran-ajaran
Asy’ariyah :
Tuhan dan
Sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ary
berhadapan pada dua pandangan ekstrim. DI satu pihak dia berhadapan dengan
kelompok mujassimah (antromorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat
bahwa Allah memiliki sifat yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah dan
sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di pihak lain, ia
berhadapan dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak
lain esensi-Nya.
Menghadapi
dua kelompok tersebut, al-Asy’ary berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat
itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, al-Asy’ary menjelaskan bahwa
sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia. Sifat-sifat Allah Swt berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh
menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak
berbeda dengan-Nya. Dalam kebebasan berkehendak, al-Asy’ary membedakan anta ra
khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah Khaliq (pencipta) perbuatan manusia,
tetapi manusia lah yang mengupayakannaya (muktasib). Akal dan Wahyu dan
Kriteria Baik-buruk
Al-Asy’ary
mengutamakan wahyu dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontadiktif antara akal dan wahyu.
Qadimnya
al-Quran
Al-Asy’ary
mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi,
semuanya tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Namun, bagi
al-Asy’ary al-Quran tidaklah diciptakan.
Melihat Allah
Al-Asy’ary
yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.
Kemungkinan rukyat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat
dilihat atau bilamana dia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.
Keadilan
Allah adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki keharusan apapun.
Kedudukan orang yang berdosa
Keadilan
Allah adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki keharusan apapun.
Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ary
berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar adalah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karana dosa kecuali kufur.
Ajaran
Maturidiah
Abu
Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand,
wilayah Uzbekistan (sekarang). Al-Maturidi hidup pada masa khalifah
al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/847-861 M. Ia sendiri wafat pada
tahun 333 H/944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologisnya
banyak persamaannya dengan paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem
teologi Abu Mansur dikenal dengan nama Al-Maturidiyah.
Ajaran-ajaran
Al-Maturidy
Akal dan Wahyu
Menurut
al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya.
Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan
buruk sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau
larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya
sesuatu.
Perbuatan
Manusia
Menurut
al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai mengenai perbuatan manusia,
kebijaksanaan, dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki
kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya
dapat dilaksanakannya. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan
manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan
perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan
yang telah menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
Kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan
Qudrat
Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Sifat Tuhan
Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula
lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca:
inheren) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat Allah tidak harus membawanya pada
antromorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari zat, sehingga
terbilangnya sifat tidak akan membawa terbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).
Melihat Tuhan
Al-Maturidi
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh
al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat
dengan mata, karena Tuhan memiliki wujud walaupun Ia immateri. Namun, melihat
Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di
akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Kalam Tuhan
Al-Maturidi
membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan
kalam nafsy (sabda yang sebenarnya). Kalam nafsy adalah sifat yang qadim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah bahar
(hadis).
Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul
Akal
memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban. Jadi,
pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran
wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah dibebankan sesuatu yang
berada diluar kemampuannya.
Pelaku dosa besar
Pelaku dosa besar
Al-Maturidi
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun dia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tasdhiq dan iqrar. Sedangkan amal
adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau
mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
mulai dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasy dimana kelompok Mu'tazilah
berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai untuk setiap
manusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan nama Mu'tazilah dipakai
untuk siapa yang berpegang pada ilmu kalam (theologische dialektik), logika dan
rasio. Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus
Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh
Imam Asy'ariy dan Imam Maturidi.
Pendapat-pendapat mereka :
-
Hukum Islam di dasarkan atas
Al-Quran dan al-Hadits
-
Mengakui Ijmak dan Qiyas sebagai
salah satu sumber hukum Islam
-
Menetapkan adanya sifat-sifat Allah
-
Al-Quran adalah Qodim bukan hadits
-
Orang Islam yang berdosa besar
tidaklah kafir
ALIRAN-ALIRAN
ISLAM LAINNYA
Sebenarnya sudah munculnya
aliran-aliran di atas, muncul lagi banyak aliran Islam di dunia. Tetapi pada
kesempatan ini hanya menyebutkan yang populer di Indonesia.
WAHABI
Pendiri gerakan ini adalah Muhammad
bin Abdul Wahab (1702-1787 M). Dalam Munjid disebutkan bahwa tariqat mereka
dinamai Al-Muhammadiyyah dan fiqih mereka berpegang pada madzhab Hanbali disesuaikan
dengan tafsir Ibnu Taimaiyyah.
Pendapat-pendapat mereka :
-
Tawassul, Istigozah adalah syirik
-
Ziarah kubur hukumnya haram
-
Menghisap rokok haram dan syirik
-
Mengharamkan membangun kubah atau
bangunan di atas kuburan
-
Membagi tauhid menjadi dua : Tauhid
Uluhiah dan Tauhid Rububiyyah
BAHAI
Kepercayaan ini mulai timbul di
kalangan Syiah Imamiyyah di Iran pada abad ke 19 M dengan munculnya Mirza Ali
Muhammad (1852 M) yang mendirikan dirinya sebagai al Bab (pintu) bagi kaum
Syiah dan umat Islam lainnya untuk menghubungkan mereka dengan Imam yang lenyap
dan ditunggu kehadirannya pada akhir jaman. Ia menyerukan untuk menyatukan
agama Islam, Nasrani dan Yahudi sehingga menimbulkan kehebohan dan ia ditangkap
dan dijatuhi hukuman mati di Tibriz tahun 1853 M. Salah satu muridnya Mirza
Husein Ali Bahaullah kemudian mengaku sebagai wakil dari Mirza Ali Muhammad
Al-Bab dan mengembangkan ajaran-ajarannya sampai ia mati. Kelompok ini diusir
oleh Kerajaan Syah Iran dan dilarang di Mesir, bahkan Al-Azhar mengeluarkan
fatwa bahwa aliran keluar dari Islam dan sudah tidak Islam lagi. Aliran ini
meluas ke Dunia Barat pada tahun 1980, dan pada tahun 1920 mengadakan pusat
bahai yang kuat di Amerika. Dewasa ini bahai terdapat di lebih dari 260 kota
dunia.
Pendapat-pendapat mereka :
-
Menggabung agama Islam dengan
Yahudi, Nasrani dan lainnya.
-
Menolak Poligami kecuali dengan
alasan dan tidak boleh dari dua istri.
-
Shalat hanya sembilan rakaat dan
kiblatnya Istana Bahaullah
-
Melakukan puasa sebulan tapi hanya
19 hari
-
Tidak melakukan shalat Jumat hanya
shalat jenazah saja
-
Melakukan haji dengan mengunjungi
rumah Al-Bab, tempat ia dipenjarakan, dan rumah-rumah para pembesar
-
Zakat harta sepertiga dan diberikan
kepada dewan pengurus perkumpulan
-
Riba diperbolehkan
-
Jihad haram dilakukan
-
Talak 19 kali Janda boleh menikah
setelah membayar diyat (tanpa ‘iddah), duda tidak boleh kawin sebelum 90 hari.
-
Kewarisan 9/60 untuk anak, 8/60
untuk suami, 7.60 untuk ayah, 6/60 untuk ibu, 1.60 untuk saudara perempuan,
3/60 untuk para guru. Selain mereka tidak dapat.
-
Hukum atas perzinaan adalah membayar
uang ke baitul mal
-
Wanita mendapat warisan yang sama
dengan lakilaki
-
Tidak mempercayai hari akhirat
Pendirinya adalah Mirza Ghulam
Ahmad.(1936-1908 M), Ia lahir di Pakistan ditengah-tengah kelompok Syiah
Ismailiyyah. Pada tahun 1884 ia mengaku mendapat ilham dari Allah, kemudian
pada 1901 mengaku dirinya menjadi nabi dan rasul, yang diingkari oleh kelompok
Ahlus Sunnah dan kelompok Syi'ah seluruh dunia.
Ahmadiyah terbagi menjadi dua
kelompok
-
Ahmadiyah Qadiyan : menganggap Mirza
sebagai nabi
- Ahmadiyah Lahore : menganggap Mirza
sebagai mujaddid (pembaharu Islam)
Pendapat-pendapat mereka :
-
Menganggap Mirza Ghulam Ahmad
sebagai Nabi (Qadiyan)
-
Orang Islam yang tidak sepaham
adalah orang kafir
-
Mengharamkan jihad
JAMAAH
TABLIGH
Pendirinya : Syaikh Muhammad Ilyas
bin Muhammad Ismail al-Kandahlawi.(1303-1363)
Kelompok ini aktif sejak 1920-an di
Mewat, India. Markas internasional pusat tabligh adalah di Nizzamudin, India.
Pendapat mereka :
- Mengembalikan Islam pada ajarannya
yang kaffah (menyeluruh)
- Mengharuskan pengikutnya khuruj
(keluar untuk berdakwah) 4 bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun,
tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu.
- Menjauhi pembicaraan tentang fiqih,
masalah-masalah politik, aliran-aliran lain dan perdebatan
-
Keyakinan tentang keluarnya tangan
Rasulullah dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan asy- Syaikh Ahmad
Ar-Rifa'i
-
Hidayah dan keselamatan hanya bisa
diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad al-Kanhuhi
-
Sikap fanatis yang berlebihan
terhadap orang-orang shaleh dan berkeyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu gaib
-
Keharusan untuk bertaqlid
Sumber :
(disumting)
No comments:
Post a Comment